Konsep Waris Islam

masnasih.com - Sistem Kewarisan yang dimiliki oleh Islam mempunyai konsep yang berbeda dengan sistem warisan lainnya. Dalam Islam dijelaskan secara mendetail dan gamblang mengenai sistem waris ini. Artikel ini menjelaskan konsep harta warisan. 

Konsep Harta Waris

Harta Waris (at-Tirkah)

At-Tarikah menurut bahasa artinya barang peninggalan mayit.

Menurut istilah jumhur ulama ialah semua harta atau hak secara umum yang menjadi milik si mayit.

Muhammad bin Abdullah at-Takruni: at-Tarikah ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya di dunia, atau hak dia yang ada pada orang lain, seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau amanatnya, atau barang yang digadaikan.

Hutang-Hutang yang Harus Dibayar dengan Harta Warisan

Hutang adalah tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam suatu waktu tertentu. Kewajiban pelunasan utang timbul sebagai prestasi (imbalan) yang telah diterima oleh orang yang berhutang.

Apabila seseorang yang meninggalkan utang kepada orang lain, maka seharusnya utang tersebut dibayar/dilunasi terlebih dahulu (dari harta peninggalan si mayit) sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli warisnya.

Para ahli hukum Islam mengelompokkan utang seseorang kepada 2 kelompok:

Utang terhadap sesama manusia (dain al-’ibad) dan Utang kepada Allah (dain Allah).

Utang terhadap sesama manusia, dilihat dari segi pelaksanaannya

Utang yang berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (dain ‘ainiyah).

Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan (dain mutlaqah).

Utang yang tidak berkaitan dengan persoalan kehartabendaan dilihat dari segi pelaksanaan waktunya

Utang muthlaqah apabila dilakukan pada waktu si mayit dalam keadaan sehat dan dibuktikan keabsahannya, disebut dengan dain shihah.

Utang muthlaqah yang dilakukan pada waktu si mayit dalam keadaan sakit, serta tidak pula didukung oleh bukti-bukti yang kuat, disebut dengan dain maradh.

Dasar Hukum Kewajiban Membayar Hutang

....sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (QS. An-Nisa’:11)

Pengertian Wasiat

Wasiat terambil dari kata al-washiyah (jamaknya washaya), secara harfiyah antara lain berarti: pesan, perintah, dan nasihat.

Ulama fikih: wasiat adalah penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.

Sayid Sabiq: wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa benda, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat sebagai pemberian yang berlaku setelah wafatnya orang yang berwasiat.

KHI: wasiat yaitu pemberian suatu benda dari pewasiat kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewasiat meninggal dunia.

Rukun dan Syarat Wasiat

Pewasiat (al-muhshi): berakal dan sudah dewasa, mukallaf, dan tidak dipaksa orang lain. Menurut KHI, syarat Pewasiat telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan.

Penerima wasiat: bukan ahli waris yang memberikan wasiat, orang yang diberi wasiat ada pada saat pemberi wasiat mati, baik mati secara benar-benar maupun mati secara perkiraan, penerima wasiat tidak membunuh orang yang diberi wasiat.

Harta yang Diwasiatkan

  1. Objek yang diwasiatkan bisa berupa semua harta yang bernilai, baik berupa barang ataupun manfaat,
  2. Harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi 1/3 dari harta peninggalan/warisan, kecuali apabila semua ahli waris setuju, 
  3. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat, 
  4. Pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia, 
  5. Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu, 
  6. Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah mengelami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum meninggal dunia, maka penerimaan wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. 
Redaksi (sighat) wasiat, wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi (sighat) yang jelas atau sharih dengan kata wasiat, dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran (ghairu sharih).

Wasiat Wajibah

Menurut doktrin ahlussunnah, hanya cucu dari anak laki-laki saja yang dapat tampil sebagai ahli waris dzawil furud atau asabah, selebihnya hanya dipandang sebagai ahli waris dzawil arham yang baru mendapat bagian apabila ahli waris dzawil furud dan ashabah tidak ada.

Lalu muncul konsep penggantian tempat dalam kajian hukum Islam di Indonesia, selain plaatsvervulling yang dikenal dalam BW.

Konsep Penggantian Tempat Dipopulerkan oleh Hazairin.

Penggantian tempat menurut Ismuha ialah penggantian ahli waris, umpamanya seseorang meninggal dunia meninggalkan cucu yang orang tuanya sudah meninggal lebih dahulu. Cucu ini menggantikan orang tuanya yang sudah meninggal lebih dahulu untuk menerima warisan dari nenek atau kakeknya.

Berawal dari pemikiran al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak menegaskan bagian cucu, kemenakan, kakek serta ahli waris yang sederajat lebih jauh lagi, maka persoalan itu dicari jalan keluarnya melalui ijtihad. Salah satu ijtihad itu telah dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, yang intinya:

“Cucu, laki-laki dan perempuan melalui anak laki-laki sederajat dengan anak, jika tidak ada anak laki-laki yang masih hidup. Cucu laki-laki seperti anak laki-laki, cucu perempuan seperti anak perempuan, mereka mewaris maupun menghijab seperti anak, dan tidak mewaris cucu bersama dengan anak laki-laki.

Hazairin menilai bahwa pendapat Zaid bin Tsabit itu hanya logis apabila diterapkan pada masyarakat yang patrilineal, dan akan tidak logis jika diterapkan dalam masyarakat matrilineal dan bilateral. Pendapat di atas tidak seluruhnya dapat diterima sebab bertentangan dengan al-Qur’an.

Konsep ahli waris mengganti (nadaharat al-tamtsil) di Mesir dan negara Timur Tengah tidak bisa diterima, karena berlawanan dengan asahajib-muhjub dan sebagai gantinya ditempuh dengan wasiat wajibah.

Wasiat wajibah di Mesir melalui Qanun al-wasiyah Nomor 71 Tahun 1946, apabila kita cermati bunyi Pasal 76-79 hanya diperuntukkan bagi cucu laki-laki atau perempuan dari pancar anak perempuan yang termahjub oleh keberadaan paman mereka. Qanun tersebut memberikan wasiyah wajibah terbatas untuk kerabat (orang punya hubungan nasab) dengan pewaris, namun terdinding oleh ahli waris lain yang lebih dekat. Pakar hukum di sana menyebut dengan aulad al-dhuhur dan aulad al-buthun.

Kebijakan yang melatarbelakangi penerimaan wasiat wajibah melalui Qanun al-Wasiyah No.71 Tahun 1946 di Mesir, antara lain bayangan mahjub oleh ahli waris yang lebih dekat dengan pewaris, dalam aset kekayaan Datuk terkandung andil dari almarhum anaknya yang telah meninggal lebih dahulu dan selama itu biaya hidup si cucu ditopang oleh dana dan hadhanah Datuk. Pengaturan wasiat wajibah yang bersifat antisipatif itu relevan dengan fatwa hukum ulama tabi’in dan juga Ibnu Hazam al-Andalusy.

Orang-orang yang mendapat wasiat wajibah itu ialah cucu-cucu yang orang tuanya telah mati mendahului atau berbarengan dengan pewaris. Mereka diberi wasiat wajibah sebesar bagian orang tuanya dengan ketentuan tidak boleh melebihi dari 1/3 peninggalan. Oleh karena besar kecilnya bagian orang tuanya itu tergantung dengan sedikit atau banyaknya saudara orang tuanya yang pada mewarisi, maka ada kemungkinan bahwa bagian orang tuanya 1/5, ¼, 1/3, atau ½ peninggalan, kelebihannya itu harus dikembalikan kepada ahli waris.

Kendatipun cucu tersebut dapat menduduki kedudukan orang tuanya dalam memperoleh harta warisan, namun jumlah yang diterimanya itu bukanlah semata-mata berdasarkan memusakai (dengan fardh atau ushubah), tetapi berdasarkan washiat wajibah. Oleh karenya memberikan bagian kepadanya harus didahulukan daripada membagikan kepada ahli waris dan bahkan harus didahulukan daripada pelaksanaan wasiat ikhtiyarihah.

Konsep cucu pengganti (penggantian tempat) tidak dikenal dalam Hukum Kewarisan Islam Ahlussunah, sebagai gantinya ialah wasiat wajibah.

Khusus wasiat wajibah, diatur bahwa terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya (pasal 209 ayat 1). Terhadap anak angkat yang majibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya (pasal 209 ayat 2).

Baca Artikel Warisan Lainnya