Perbedaan Desa Kota

masnasih.com - Kamu tentunya pernah mendengar istilah dalam ilmu geografi tentang desa maupun kota. Desa umumnya identik dengan adanya pegunungan, lahan pertanian yang luas, dan udara yang bersih. Kemudian kota memiliki masyarakat yang heterogen, berdiri bangunan-bangunan yang bertingkat, pemukiman yang padat, dan udara yang kotor. Antara desa dan kota memiliki pola keruangan yang berbeda sehingga mendorong terjadinya interaksi antarwilayah. Pola keruangan tersebut memberikan pengaruh terhadap kualitas lingkungan baik biotik maupun abiotik.

Pola Keruangan Desa dan Kota 

Baca Materi Sebelumnya Sistem Infosmasi Geografis (SIG)

Pengertian desa dan kota

Pengertian desa

Desa memilki istilah yang berbeda di berbagai daerah di Indonesia. Di aceh, desa dikenal dengan istilah gampong, di tapanuli disebut huta, di sumatra barat disebut nagari, di bali disebut banjar, di sulawesi selatan disebut wanus. Untuk mengenali desa maka perlu diperhatikan pengertian desa sebagai berikut.

1. R. Bintarto

Desa adalah suatu hasil perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di suatu daerah serta memiliki hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain.

2. Sutardjo Kartohadikusumo

Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.

3. William Ogburn dan M.F Nimkoff

Desa adalah keseluruhan organisasi kehidupan sosial di dalam daerah terbatas.

4. Paul H. Landis

Desa adalah suatu wilayah yang penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan ciri-ciri : 

  1. Mempunyai pergaulan hidup yang saling mengenal
  2. Adanya ikatan perasaan yang sama tentang kebiasaan
  3. Cara berusaha bersifat agraris dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor alam, seperti iklim, topografi, dan sumber daya alam.

Ciri-ciri, unsur, dan potensi desa

Memperhatikan pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, suatu daerah disebut desa jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Mata pencaharian utama penduduk adalah dalam sektor pertanian
  2. Perbandingan antara lahan dan manusia relatif besar. Artinya, jumlah penduduk relatif sedikit dan lahannya relatif luas
  3. Hubungan antarwarga relatif akrab
  4. Biasanya tradisi masih dipegang kuat oleh sebagian besar masyarakatnya.

Bintarto, menjabarkan unsur-unsur desa ke dalam tiga bagian yang saling terkait sehingga merupakan suatu kesatuan. Ketiga unsur desa tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Daerah, dalam arti lahan yang produktif dan non produktif beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas, dan batas yang merupakan lingkungan geografi setempat.
  2. Penduduk, meliputi jumlah, pertambahan, kepadatan, persebaran, dan mata pencaharian penduduk setempat.
  3. Tata kelakuan, dalam hal ini berupa pola tata pergaulan dan ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa.

Walaupun setiap desa memiliki unsur yang sama, namun antara satu desa dengan desa lainnya memiliki potensi yang berbeda. Misalnya, tidak semua desa memiliki lahan yang subur dan lokasi yang strategis begitu pula dengan mata pencaharian penduduk yang beragam jenisnya walaupun masih termasuk dalam bidang pertanian.

Berdasarkan bentuknya, potensi desa dapat dibedakan atas potensi fisik dan potensi nonfisik. Potensi fisik merupakan potensi yang terdapat pada bentuk fisik. Potensi fisik suatu desa mencakup tanah, air, iklim, manusia, sumber tanaman, dan lain-lain.

1. Tanah

Tanah dalam arti berbagai unsur yang dapat dimanfaatkan di dalamnya sebagai sumber mata pencaharian dan penghidupan penduduk seperti sumber tumbang dan mineral, sumber tanaman, dan lain-lain.

2. Air

Untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari dan untuk keperluan lainnya, seperti pertanian atau transportasi. Air sebagai potensi fisik berkaitan dengan jumlah, kualitas, dan tata air.

3. Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor penting dalam kaitannya dengan bidang pertanian.

4. Ternak

Ternak dalam arti fungsi keberadaan sebagai sumber lahan makanan, sumber keuangan, dan sumber tenaga untuk pertanian.

5. Manusia

Manusia dalam arti tenaga kerja dalam mengolah lahan dan sebagai produsen.

Potensi non fisik merupakan potensi yang dimiliki desa dalam bentuk perilaku, lembaga sosial, serta aparatur desa.

  1. Perilaku saling membantu atau gotong royong antarwarga masyarakat merupakan potensi yang dapat dikembangkan sebagai kekuatan berproduksi dan membangun desa atas dasar kerjasama dan saling pengertian.
  2. Lembaga-lembaga sosial, lembaga pendidikan, dan organisasi-organisasi sosial di desa yang dapat memberikan bimbingan demi kemajuan desa.
  3. Aparatur desa yang disiplin dan kreatif dapat menjadi pendukung sekaligus motivator pembangunan di desa.

Adanya perbedaan potensi masing-masing desa menyebabkan adanya perbedaan tingkat perkembangan antara desa-desa tersebut. Berdasarkan tingkat perkembangannya, desa dapat dibedakan atas desa terbelakang, desa sedang berkembang, dan desa maju. Tingkat kemajuan suatu desa sangat tergantung pada hal-hal berikut ini.

  1. Potensi desa, baik potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusianya.
  2. Interaksi desa dengan kota dalam berbagai bentuk, sehingga memacu perkembangan desa.
  3. Lokasi desa, menyangkut jarak antara desa dengan daerah lainnya yang lebih maju.

Selain berdasarkan tingkat perkembangannya, pengelompokan desa juga dapat didasarkan pada kemampuannya dalam mengelola dan mengembangkan potensinya. Pengelompokan tersebut dapat menunjukkan tingkat kemandirian desa tersebut. Berdasarkan tingkat kemandiriannya, desa dapat dibedakan menjadi desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada.

1. Desa swadaya (desa terbelakang)

Desa swadaya yaitu desa yang sebagian besar masyarakatnya memenuhi kebutuhannya dengan usaha sendiri. Biasanya desa tersebut kurang berinteraksi dengan desa lainnya karena lokasinya yang terpencil, sehingga proses kemajuannya sangat lamban.

2. Desa swakarya

Desa swakarya yaitu suatu wilayah desa yang masyarakatnya sudah mampu menghasilkan keperluan hidupnya sendiri. Selain itu, produk yang dihasilkan desa swakarya juga sudah berlebih, sehingga kelebihan produksinya dapat dijual ke daerah lain. desa swakarya setingkat lebih maju dibanding desa swadaya. Interaksi dengan masyarakat daerah lainnya sudah mulai dilakukan walaupun intensitasnya tidak begitu sering.

3. Desa swasembada

Desa swasembada yaitu desa yang masyarakatnya sudah mampu mengembangkan semua potensi yang dimiliki secara optimal. Desa ini secara intensif telah berinteraksi dengan masyarakat luar, melakukan transaksi, dan memiliki kemampuan untuk memengaruhi dan dipengaruhi oleh daerah lainnya. Interaksi dengan masyarakat dan budaya luar memacu kemajuan desa karena bersamaan dengan itu masuk pula ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih maju dari luar.

Dalam kaitannya dengan kota, posisi desa sangat penting. Desa berfungsi sebagai hinterland, yaitu suatu daerah yang berfungsi memenuhi atau memasok kebutuhan bahan makanan pokok, seperti padi, buah-buahan, ketela, jagung, maupun palawija. Secara ekonomi, selain berfungsi sebagai tempat produksi pangan desa juga berfungsi sebagai tempat produksi komoditi ekspor.

Seringkali interaksi antara desa dengan kota berjalan secara tidak seimbang. Kekuatan pengaruh kota terhadap desa lebih dominan dibandingkan pengaruh desa terhadap kota. Kondisi ini terutama karena pembangunan lebih difokuskan di kota. Akibatnya, kota lebih banyak memengaruhi corak kehidupan di desa dan mengambil manfaat sumber daya alam di desa dibanding yang diberikan oleh kota terhadap desa. Ketimpangan tersebut menjadikan kota memiliki daya tarik yang luar biasa besarnya. Akibatnya, banyak penduduk desa yang pergi ke kota, baik untuk menetap maupun tinggal sementara.

Pengertian kota

Sebelum lebih jauh membahas tentang struktur ruang kota, alangkah baiknya kita mempelajari terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kota. Dari segi geografi, menurut bintarto, kota adalah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan nonalami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibanding dengan daerah belakangnya.

Seluruh wilayah yang dikatakan sebagai kota biasanya harus memenuhi kriteria tertentu. Kriteria tersebut biasanya berupa angka (numerik). Kriteria numerik umumnya merujuk pada jumlah penduduk. Hanya saja, kriteria jumlah penduduk kurang dapat dijadikan patokan. Misalnya di pulau jawa, suatu daerah yang berpenduduk 5.000 orang belum termasuk kota, tetapi di inggris suatu daerah yang berpenduduk 500 orang sudah dapat disebut dengan kota.

Ciri-ciri kota

Dalam menentukan apakah suatu wilayah merupakan wilayah kota atau bukan, maka dapat digunakan beberapa ciri berikut ini.

1. Tempat-tempat untuk pasar dam pertokoan

Pasar dan pertokoan merupakan salah satu pusat aktivitas penduduk di perkotaan. Pasar dan pertokoan di kota-kota besar masuk dalam wilayah pusat kota atau down town bersama dengan gedung perkantoran, bioskop, bank, dan lain-lain.

2. Tempat-tempat untuk parkir

Tempat parkir merupakan ciri lain dari kota. Jumlah kendaraan yang besar dan aktivitas yang begitu tinggi dalam kegiatan transportasi. Membuat kota memerlukan tempat berhenti sementara yang disebut dengan lahan parkir. Kebutuhan lahan parkir semakin tinggi dengan semakin besarnya jumlah kendaraan serta tingginya aktivitas manusia. Perluasan lahan parkir seringkali tidak mampu mengimbangi jumlah kendaraan yang terus bertambah. Akibatnya, lahan parkir menjadi permasalahan tersendiri bagi sebuah kota karena lahan yang relatif terbatas. Untuk mengatasi permasalahan tersebut banyak gedung yang sengaja menyediakan jasa lahan parkir tidak hanya pada area terbuka saja tetapi juga di area tertutup, baik di lantai dasar gedung maupun secara bertingkat.

3. Tempat rekreasi dan olahraga

Tempat rekreasi dan olahraga merupakan kebutuhan bagi masyarakat, terutama masyarakat kota. Karena itu, setiap kota umumnya berupaya menyediakan lahan tersebut, walaupun dengan luas yang terbatas.

Struktur ruang desa dan kota

Struktur ruang desa

Struktur ruang di pedesaan biasanya masih bersifat sederhana. Secara umum, struktur ruang desa dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang yang memiliki fungsi sosial dan ruang yang memiliki fungsi ekonomi. Wilayah perkampungan penduduk merupakan ruang yang memiliki fungsi sosial. Interaksi antarwarga keluarga dan masyarakat terjadi di wilayah ini. Wilayah pertanian, merupakan wilayah yang memiliki fungsi ekonomi. Penduduk mengolah lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri maupun dijual ke daerah lainnya.

Luas pernggunaan lahan untuk pertanian dan perkampungan tentunya berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Desa yang telah maju biasanya memiliki persentase lahan pertanian yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena jumlah penduduk yang semakin banyak sehingga lahan yang diperlukan untuk membangun permukiman semakin bertambah. Akibatnya, banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi permukiman penduduk. Pada akhirnya, jika lahan permukiman lebih banyak dibandingkan dengan lahan pertanian disertai dengan semakin berkembangnya area perdagangan, maka struktur ruang desa berubah menjadi struktur ruang kota.

Dilihat dari bentuknya, perkampungan di desa memiliki pola yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi geografis setempat seperti adanya sungai atau jalan sebagai sarana transportasi utama dan kondisi topografi yang berbukit atau datar. Berdasarkan bentuknya, permukiman dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe memusat dan tipe terpencar.

1. Bentuk pemukiman memusat

Bentuk permukiman memusat merupakan bentuk permukiman yang mengelompok. Permukiman tersebut bisa berupa dukuh atau dusun (hamlet) yang terdiri dari rumah yang jumlahnya kurang dari 40 dan kampung yang terdiri dari 40 hingga ratusan rumah. Di sekitar dukuh atau kampung dikelilingi oleh lahan pertanian, peternakan, kehutanan dan lain-lain sebagai sumber ekonomi penduduk. Di Indonesia, permukiman tradisional, umumnya berbentuk memusat.

Permukiman yang memusat juga memiliki bentuk yang beragam. Bentuk permukiman memusat seperti berbentuk bujur sangkar umumnya ditemukan di daerah pertanian. Bentuk permukiman memusat yang berbentuk linear umumnya ditemukan di sepanjang garis, pantai, sungai dan jalan.

2. Bentuk pemukiman terpencar

Bentuk permukiman terpencar adalah suatu bentuk permukiman yang terdiri dari sejumlah rumah yang letaknya saling berjauhan antara satu dengan lainnya. Bentuk perkampungan semacam ini banyak ditemukan di negara Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Eropa Barat yang umumnya adalah negara-negara maju.

Umumnya permukiman dengan bentuk seperti ini dihuni oleh petani yang memiliki luas lahan yang besarnya mencapai puluhan hektar (bandingkan dengan rata-rata luas kepemilikan lahan pertanian di jawa yang hanya 0,25 hektar /petani). Para petani tersebut tinggal berjauhan dari beberapa kilometer sampai puluhan kilometer. Walaupun tinggal berjauhan atau menyendiri, pertanian yang mereka garap dilengkapi dengan gudang, peralatan pertanian modern, penggilingan, lumbung, dan kandang ternak. Jika memerlukan tenaga kerja, mereka bisa memerolehnya dari perkampungan lain yang berbentuk terpusat.

Struktur ruang kota

1. Teori kosentris dari ernest w. Burgess

Teori zona konsentris yang dikembangkan oleh Ernest W. Burgess, membagi kota ke dalam lima zona yang berbentuk memusat. Kelima zona tersebut adalah sebagai berikut.

a. Zona pusat daerah kegiatan (PDK)

Zona pusat kegiatan atau disebut dengan central bussiness district (CBD). Dalam zona ini terdapat toko-toko besar dan gedung perkantoran seperti bank, pertokoan, dan rumah makan.

b. Zona peralihan atau zona transisi

Zona transisi masih terikat dengan zona pusat kegiatan. Pada zona ini terdapat penduduk yang tidak stabil, baik ditinjau dari tempat tinggal, maupun dari segi ekonomi. Penduduk di wilayah ini umumnya adalah penduduk miskin. Biasanya, seiring dengan perkembangan kota, daerah ini menjadi sasaran pembangunan gedung-gedung untuk perhotelan, tempat parkir, dan jalan-jalan utama.

c. Zona pemukiman kelas proletar

Zona ini disebut juga dengan zona working men’s homes atau kaum pekerja. Penduduk di wilayah ini umumnya termasuk kurang mampu dilihat dari segi pendapatan. Perumahan yang dibangun relatif kecil tetapi lebih baik dibanding dengan zona transisi.

d. Zona permukiman kelas menengah (residential zona)

Sesuai dengan namanya, zona ini terdiri dari permukiman para karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. Karena itu, permukimannya lebih baik dibanding zona kelas proletar.

e. Zona penglaju (zona commuters)

Zona ini dihuni oleh para penglaju yaitu mereka yang bekerja di kota tetapi tinggal di daerah belakang atau hinterland. Karena itu, setiap hari mereka pulang pergi dari rumah ke tempat kerja menggunakan berbagai jenis kendaraan.

2. Teori sektor dari homer hoyt

Menurut Hoyt, perkembangan di daerah perkotaan tidak mengikuti zona-zona yang teratur secara konsentris, melainkan berupa sektor-sektor. Menurutnya, daerah-daerah industri berkembang sepanjang lembah sungai jalur lintasan kereta api yang menghubungkan kota tersebut dengan kota lainnya. Hoyt beranggapan bahwa daerah-daerah yang memiliki sewa tanah atau harga tanah yang tinggi akan terletak di tepi luar dari kota. Selain itu, dia juga beranggapan bahwa daerah-daerah yang memiliki sewa dan harga tanah yang rendah merupakan jalur yang mirip dengan potongan kue tart, sehingga bentuk struktur ruang kota tidak konsentris. Menurut Hoyt pola keruangan kota adalah sebagai berikut.

  1. Zona pusat daerah kegiatan berada pada pusat atau tengah kota seperti halnya dalam teori konsentris. Pada zona ini terdapat kantor, hotel, pusat perbelanjaan, pasar, bioskop, dan berbagai pusat aktivitas manusia lainnya.
  2. Manufaktur dan grosir memanjang ke arah luar dari pusat kota.
  3. Dekat atau di sekitar pusat kota tedrdapat zona permukiman kelas rendah.
  4. Berbatasan dengan zona permukiman kelas rendah ke arah luar terdapat zona permukiman kelas menengah.
  5. Zona permukiman kelas tinggi memanjang milai dari pusat kota sampai ke arah luar kota.

3. Teori inti berganda (multiple nucklei) dari harris dan ullman

Harris dan Ullam mengembangkan pola keruangan kota yang membagi kota menjadi sejumlah inti yang masing-masing berdiri sendiri.

Pola permukiman memusat ada yang berbentuk bujur sangkar dan ada pula yang berbentuk linear. Bentuk permukiman memusat yang berbentuk linear umumnya ditemukan di sepanjang garis pantai, sungai, jalan raya, dan lintasan kereta api.

a. Permukiman linear sepanjang garis pantai

Pola ini terbentuk di wilayah pantai dimana sebagian besar penduduknya mata pencahariannya sebagai nelayan untuk pergi melaut. Bentuk permukiman seperti ini banyak ditemukan di hampir seluruh garis kepulauan Indonesia

b. Permukiman linear sepanjang alur sungai

Permukiman penduduk sepanjang alur sungai umumnya terbentuk di sepanjang sisi kiri dan kanan sungai. Pola seperti ini umumnya terbentuk di sepanjang sungai-sungai besar Indonesia.

c. Permukiman linear sepanjang jalan raya

Bentuk permukiman sepanjang jalan raya terbentuk seiring dengan perkembangan sarana transportasi. Permukiman penduduk akan terbentuk sejajar di kedua sisi jalan raya.

d. Permukiman linear sepanjang jalan kereta api

Pola ini umumnya terbentuk di kedua sisi sepanjang lintasan kereta api. Pola permukiman seperti ini hanya ditemukan di pulau jawa dan sebagian wilayah pulau sumatra.

C. Interaksi wilayah desa dan kota

Setiap wilayah di permukaan bumi memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan lainnya, baik dilihat dari aspek fisik, manusia, maupun budayanya. Karena itu, potensi masing-masing wilayah adalah beragam. Tidak ada satupun wilayah di permukaan bumi yang memiliki potensi yang benar-benar sama. Karena potensi wilayah yang beragam, maka tidak ada satu wilayah pun yang mampu memenuhi semua kebutuhannya hanya dengan mengandalkan pada wilayahnya sendiri, kecuali jika penduduk dan wilayah tersebut berada dalam keadaan terisolasi dan hanya hidup seadanya.

Perbedaan potensi wilayah memicu terjadinya interaksi antarwilayah. Suatu wilayah mungkin kaya akan sumber daya alam tertentu akan tetapi miskin akan sumber daya alam lainnya, sehingga membutuhkan pasokan dari wilayah lainnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Edwarf Ullman mengemukakan tiga faktor utama yang mendasari munculnya interaksi antarwilayah. Ketiga faktor tersebut adalah sebagai berikut.

Adanya wilayah-wilayah yang saling melengkapi (Regional Complementary)

Perbedaan kemampuan antarwilayah dalam hal sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam memungkinkan terjadinya hubungan saling melengkapi. Misalnya, wilayah A memiliki surplus sumber daya X tetapi minus sumber daya Y dan Z. Wilayah B memiliki surplus sumber daya Y tetapi minus sumber daya X dan Z. Kondisi tersebut akan memicu terjadinya interaksi antara kedua wilayah dalam bentuk saling melengkapi.

Adanya kesempatan untuk saling beritervensi (Intervening Opportunity)

Kesempatan untuk berintervensi adalah suatu kemungkinan adanya perantara yang dapat menghambat interaksi antarwilayah. Pada contoh di atas, antara wilayah A dan B akan terjadi hubungan saling melengkapi karena keduanya memiliki surplus untuk sumber daya tertentu yang dibutuhkan. Kondisi tersebut akan berubah jika terdapat wilayah lain, sebut saja wilayah C, yang juga menyediakan sumber daya yang dibutuhkan oleh A dan B. Interaksi antara A dan B menjadi terhambat atau menjadi melemah karena ada wilayah C yang menjadi alternatif pengganti.

Adanya kemudahan pemindahan dalam ruang (spatial transfer ability)

Pola interaksi antar wilayah juga ditentukan oleh tingkat kemudahan dalam pemindahan sumber daya dalam ruang, baik berupa barang, manusia, maupun informasi. Kemudahan tersebut dipengaruhi antara lain oleh:

  1. Jarak antarwilayah, baik jarak mutlak maupun jarak relatif
  2. Biaya angkut atau transpor untuk keperluan transfer atau pemindahan sumber daya
  3. Kelancaran transportasi antarwilayah yang mencakup antara lain jumlah kendaraan dan kondisi jalan.

Kekuatan interaksi antarwilayah dapat dianalisis menggunakan Teori Gravitasi yang dikemukanan oleh Reilly. Teori tersebut, sesuai dengan namanya, mengadopsi hukum gravitasi dalam fisika yang dikemukakan oleh Sir Isaac Newton.

Newton mengemukakan bahwa bila ada dua massa yang saling berhadapan, maka kedua massa itu akan saling menarik. Gaya tarik antara dua benda tersebut berbanding lurus dengan massanya dan berbanding terbalik dengan kuadratnya.

Reilly menerapakan teori tersebut untuk menganalisis atau mengukur kekuatan interaksi antarwilayah. Menurutnya, kekuatan interaksi antarwilayah dapat ditentukan dengan memperhatikan jumlah penduduk pada masing-masing wilayah dan jarak mutlak antara wilayah-wilayah tersebut.

Analisis interaksi antarwilayah juga bisa dilakukan dengan menggunakan teori titik henti (the breaking point theory). Teori tersebut pada dasarnya merupakan hasil modifikasi teori gravitasi dari Reilly. Teori ini digunakan untuk memperkirakan garis batas antara dua wilayah perdagangan dari dua kota yang memiliki ukuran yang berbeda. Teori ini juga dapat digunakan untuk menentukan penempatan lokasi industri dan pelayan-pelayanan sosial yang dapat dijangkau dengan mudah oleh penduduknya. Teori ini menyatakan bahwa:

Jarak titik henti atau titik pusat perdagangan yang lebih kecil ukurannya, berbanding lurus dengan jarak antara kedua pusat perdagangan tersebut dan berbanding terbalik dengan satu ditambah akar kuadrat jumlah penduduk dari wilayah yang penduduknya lebih kecil dibagi dengan jumlah penduduk pada wilayah yang penduduknya lebih besar.kekuatan interaksi juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana transportasi.

Jumlah dan jenis kendaraan serta kondisi jalan yang memadai baik dilihat dari segi kualitasnya maupun jaringannya akan memperlancar arus pemindahan sumber daya dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Dengan demikian, kekuatan interaksi antardua wilayah juga semakin kuat. Berdasarkan kenyataan tersebut, KJ. Kansky mengembangkan cara untuk mengukur kekuatan interaksi antarkota dalam suatu wilayah berdasarkan kondisi jaringan jalannya.

Semakin besar nilai indeks berarti semakin besar atau kuat interaksi kota-kota wilayah tersebut. Pola atau bentuk jaringan jalan yang menghubungkan kota-kota bisa dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk cabang atau pohon dan bentuk sirkuit. Nilai indeks pola cabang selalu lebih kecil dari 1, sedangkan nilai indeks pola sirkuit sama dengan atau lebih dari 1. Artinya, pola sirkuit memiliki kekuatan interaksi yang lebih tinggi dari pola cabang.

Konflik pemanfaatan lahan permukiman

Pemanfaatan lahan di daerah pedesaan didominasi oleh kegiatan pertanian. Hanya sebagian kecil lahan yang dmanfaatkan untuk permukiman. Kondisi yang berbeda terjadi di kota yang sebagian besar lahannya dimanfaatkan untuk permukiman dan fasilitas lainnya. Mekipun demikian, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di pedesaan, maka lama kelamaan area pertanian di pedesaan akan berubah fungsi menjadi area permukiman.

Masalahnya kemudian muncul ketika pembangunan permukiman tersebut harus mengorbankan lahan pertanian yang relatif subur yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian penduduk. Di sinilah terjadi konflik kepentingan antara kepentingan untuk memenuhi kebutuhan ruang bermukim dengan kebutuhan akan pangan yang juga tidak kalah pentingnya. Biasanya kebutuhan untuk permukiman mengalahkan kebutuhan untuk pangan, sehingga lahan pertanian secara terus menerus berubah menjadi lahan permukiman.

Akibat dari semakin berkurangnya lahan pertanian di pedesaan adalah bergesernya lahan pertanian ke wilayah yang seharusnya dijadikan wilayah konservasi, yaitu hutan. Pembukaan hutan untuk pertanian merupakan pilihan yang terpaksa dilakukan oleh petani yang sudah tidak memiliki lahan pertanian akibat berkembangnya permukiman. Dampak lainnya adalah sebagian petani harus mengganti mata pencahariannya menjadi bidang nonpertanian dengan pergi ke kota sebagai buruh kasar atau pedagang.

Berkembangnya kota ke arah wilayah pedesaan sekitarnya juga menjadi sumber masalah. Lahan-lahan pertanian yang subur terpaksa beralih fungsi menjadi permukiman bagi penduduk yang tidak dapat tinggal di kota. Sebagian penduduk memilih tinggal di desa sekitar kota dengan berbagai alasan, seperti harga tanah yang lebih rendah, luas lahan yang masih besar, dan kondisi lingkungan yang masih baik. Seringkali, warga kota yang membangun permukiman di pedesaan sekitarnya memiliki gaya hidup dan kebiasaan yang tidak sejalan dengan penduduk desa. Akibatnya, terkadang timbul konflik sosial akibat perbedaan tersebut.

Konflik pemanfaatan lahan juga terjadi di wilayah perkotaan. Semakin meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan naiknya kebutuhan akan bermukim. Padahal, banyak penduduk kota yang secara ekonomi tidak mampu memiliki rumah dengan harga tanah dan bangunan yang sudah sedemikian tingginya. Akibatnya, banyak warga kota yang memanfaatkan lahan yang seharusnya tidak diperuntukkan untuk permukiman. Misalnya, di sepanjang sungai yang seharusnya dijadikan jalur hijau, di sepanjang jalur rel kereta api dan lahan milik pemerintah yang belum dimanfaatkan. Kondisi ini seringkali menjadi sumber konflik antara aparat pemerintah dan penduduk yang tinggal di atas lahan tanpa izin atau liar. Pemerintah dengan alasan ketertiban berupaya melakukan pembongkaran secara paksa. Kondisi demikian tentu saja akan memicu timbulnya konflik antara penduduk di atas lahan dengan aparat pemerintah.

Dampak permukiman terhadap kualitas lingkungan

Pembangunan permukiman merupakan suatu upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia akan tempat tinggal. Kegiatan ini dilakukan dengan mengubah fungsi lahan tertentu menjadi permukiman. Perubahan ini tentunya akan mengubah tatanan dan interaksi antarunsur lingkungan, baik lingkungan biotik, abiotik, maupun sosial-budaya. Lingkungan itu sendiri memiliki tatanan atau jalinan hubungan antara satu dengan lainnya, sehingga membentuk keseimbangan. Jika dengan dibangunnya permukiman terjadi perubahan pada salah satu unsurnya, maka tatanan lingkungan dan kualitas lingkungan akan terpengaruh.

Dampak permukiman tidak hanya pada aspek lingkungan bio-fisik saja, tetapi juga pada aspek lingkungan sosial-budaya. Aspek lingkungan bio-fisik mencakup lingkungan biotik, perairan, tanah, dan udara. Sedangkan aspek lingkungan sosial-ekonomi dan budaya antara lain mencakup tradisi, seni budaya, interaksi sosial, dan ekonomi.

Dampak lingkungan terhadap lingkungan biotik

Perkembangan permukiman merupakan upaya mengubah bentuk pemanfaatan lahan tertentu menjadi permukiman. Lahan yang dijadikan permukiman dapat berupa daerah pertanian maupun daerah yang masih alami seperti hutan. Proses konversi lahan jelas akan mengubah habitat berbagai makhluk hidup yang sudah ada di tempat tersebut. Jika habitat telah rusak, maka bisa terjadi beberapa kemungkinan berikut.

  1. Migrasi beberapa jenis spesies hewan ke tempat atau habitat lain yang mampu memberikan tempat perlindungan dan makanan.
  2. Adaptasi sejumlah spesies dengan lingkungan bari yaitu lingkugan permukiman. Misalnya, tikus dan beberapa serangga.
  3. Semakin berkurangnya jumlah populasi hewan dan tumbuhan tertentu yang mampu beradaptasi pada lingkungannya yang baru karena berkurangnya makanan dan semakin terbatasnya habitat yang sesuai.
  4. Sejumlah spesies mati atau bahkan punah karena hilang atau berkurangnya spesies lainnya yang menjadi sumber makanan.
  5. Hilangnya spesies pemangsa seperti, ular, harimau, dan hewan lainnya yang dianggap membahayakan manusia mengakibatkan ledakan populasi pada spesies tertentu, seperti tikus, berbagai jenis serangga, dan lain-lain. pada gilirannya kondisi sedemikian akan mengganggu manusia dan lahan pertaniannya.

Konversi hutan di pulau jawa yang dilakukan secara terus menerus, terutama untuk pertanian dan permukimanm, menyebabkan berkurang dan punahnya sejumlah spesies tertentu, misalnya harimau jawa dan burung elang. Spesies-spesies tersebut berkurang atau punah karena hilangnya sumber makanan serta semakin sempitnya habitat alami tempat mereka hidup.

Berkurangnya spesies atau bahkan punahnya spesies tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi juga di beberapa negara maju. Negara-negara tersebut telah banyak melakukan konversi lahan untuk permukiman dan industri. Jenis spesies yang telah puah di antaranya passenger pigeon (ectopistes migratorius) di Amerika. Selain spesies yang telah punah, di beberapa negara maju seperti Amerika juga terdapat spesies yang terancam punah, seperti bison dan alligator amerika.

Dampak permukiman terhadap kulitas lingkungan fisik

Dampak adanya permukiman dapat terlihat dan terasa dengan jelas pada lingkungan fisik. Keberadaan permukiman pada suatu wilayah secara langsung menutup lahan-lahan terbuka dengan bangunan rumah dan berbagai fasilitasnya. Selain, itu aktivitas penduduk memberi dampak terhadap kulitas lingkungan udara dan perairan.

1. Dampak permukiman terhadap kualitas lingkungan perairan

Berkembangnya permukiman akan disertai dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan air. Sementara itu, volume air tanah terjadi karena terhambatnya proses infiltrasi (masuknya air ke dalam tanah) akibat tertutupnya lahan oleh permukiman. Sebagian besar air hujan menjadi air limpasan permukaan (run off) menuju sungai-sungai yang ada di sekitarnya. Seringkali kondisi ini mengakibatkan banjir di daerah-daerah yang lebih rendah dari permukiman tersebut.

Air permukaan, baik air sungai maupun air danau seringkali tidak lagi bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari akibat pencemaran yang tinggi dari berbagai sumber seperti permukimann dan industri. Sumber pencemaran dari permukiman (limbah domestik) dapat berupa deterjen atau sabun serta limbah padat berupa sampah (sampah organik dan non-organik) dari kegiatan rumah tangga. Limbah-limbah tersebut, terutama limbah kimia seperti deterjen, seringkali membahayakan kehidupan makhluk hidup di wilayah perairan sekitarnya. Akibatnya, di wilayah perairan yang telah tercemar tidak banyak ditemukan makhluk hidup yang mampu bertahan.

2. Dampak permukiman terhadap kualitas udara

Berkembangnya permukiman juga akan disertai dengan semakin meningkatnya temperatur udara. Sebagian panas atau radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi akan diserap oleh tumbuhan. Jika tumbuhan tersebut ditebang dan digantikan dengan permukiman, maka radiasi matahari yang tadinya diserap tumbuhan akan dipantulkan kembali ke udara. Akibatnya temperatur udara menjadi lebih panas dibandingkan dengan daerah yang masih memiliki tumbuhan.

3. Dampak permukiman terhadap komponen tanah

Permukiman seringkali dibangun pada lahan-lahan yang relatif datar. Lahan-lahan tersebut biasanya berada di daerah pesisir yang relatif subur. Dengan dibangunnya permukiman, lahan-lahan tersebut akhirnya tidak lagi menghasilkan sumber bahan pangan yang dibutuhkan manusia.

Bertambahnya penduduk secara terus-menerus juga menuntut lahan permukiman yang lebih luas. Sebagian penduduk terpaksa atau sengaja merambah daerah yang tidak datar seperti di daerah pernukitan atau di lereng gunung yang tadinya merupakan hutan atau daerah pertanian, akibatnya, semakin banyak lahan yang terbuka dari pengaruh air hujan yang jatuh langsung ke atas tanah tanpa tertahan oleh pohon. Pada gilirannya, tanah akan mengalami pemadatan dan pertikel-pertikel tanah yang subur akan tererosi. Kekuatan erosi juga mengakibatkan lahan-lahan yang tadinya subur menjadi miskin akan unsur hara.

4. Dampak permukiman terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya

Meningkatnya jumlah penduduk pada suatu wilayah akan disertai dengan meningkatnya kebutuhan penduduk akan ruang untuk bermukim. Di daerah perkotaan, kebutuhan tersebut semakin lama semakin tinggi mengingat semakin besarnya jumlah peduduk yang belum memiliki rumah. Akibatnya, daerah permukiman meluas ke daerah pedesaan di sekitarnya karena berbagai daktor berikut.

  1. Harga lahan di kota jauh lebih tinggi dibanding di daerah pedesaan di sekitar kota, sehingga sebagian penduduk kota lebih memilih tinggal di daerah pedesaan sekitar kota.
  2. Luas pemilikan lahan di kota sangat terbatas, sehingga tidak memungkinkan jika seseorang berkeinginan untuk memiliki rumah yang beasr dengan pekarangan yang luas.
  3. Sektor perekonomian di daerah pedesaan sekitar kota mulai berkembang, sehingga banyak peluang pekerjaan maupun usaha yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk kota.
  4. Sebagian penduduk kota berkeinginan tingga di lingkungan yang masih bersih, jauh dari kebisingan, dan polusi udara di kota.

Berkembangnya permukiman di daerah pedesaan maupun perkotaan, membawa dampak pada kehidupan sosial, ekonomi dan budayya penduduk di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan itu sendiri. Gambaran dampak tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Semakin sempitnya lahan pertanian di daerah pedesaan, membawa dampak terhadap semakin terbatasnya peluang kerja pada sektor pertanian. Akibatnya, sebagian penduduk terpaksa pergi ke kota lain dan beralih pekerjaan, membuka lahan pertanian baru di daerah lainnya, atau terpaksa menjadi pengangguran.
  2. Adat dan kebiasaan serta gaya hidup penduduk kota yang pindah ke desa, sebagian akan ditiru oleh penduduk desa. Akibatnya, terjadi asimilasi dan akulturasi budaya antara budaya penduduk pendatang dan penduduk asli.
  3. Adat dan kebiasaan penduduk kota dan desa tidak selamanya bisa diterima oleh penduduk desa. Kondisi ini dapat memicu terjadinya konflik di antara keduanya.
  4. Penduduk pandatang dari kota biasanya memiliki karakteristik sosial-ekonomi (mata pencaharian, pendapatan, dan pendidikan) yang berbeda dengan penduduk desa. Perbedaan tersebut terkadang menimbulkan kecemburuan sosial dan konflik sosial.
  5. Permukiman baru di daerah pedesaan seringkali terpisah dari penduduk asli. Permukiman-permukiman baru banyak yang dibatasi dengan pagar atau dinding pembatas, sehngga interaksi sosial di antara keduanya tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, selain munculnya potensi konflik muncul pula perasaan saling curiga di antara keduanya.
  6. Tidak jarang permukiman baru dihuni oleh penduduk dengan latar belakang sosial-ekonomi yang sama. Misalnya, perumahan karyawan perusahaan, dosen, pegawai negeri sipil, dan lain-lain. Akibatnya, interaksi sosial dengan kelompok lainnya tidak banyak terjadi.
  7. Pembangunan permukiman di daerah pedesaan juga bisa memberikan mannfaat bagi penduduk setempat dengan muncul dan berkembangnya perekonomian di desa dalam sektor perdagangan maupun jasa seperti pedagang makanan, pertokoan, atau pertukangan.
  8. Di daerah perkotaan, pembangunan permukiman seringkali dilakukan oleh penduduk pada lahan-lahan milik pemerintah tanpa izin. Akibatnya, terkadang terjadi penggusuran yang berakibat munculnya konflik antara penghuni dan pemerintah.
  9. Sebagian penduduk kota yang kurang mampu biasanya membangun permukiman pada lahan yang luasnya terbatas dan tidak diperuntukkan untuk permukiman. Misalnya, di sekitar jalan kereta api, sepanjang jalur hijau di dekat sungai dan lain-lain. daerah tersebut kemudian berkembang menjadi daerah kumuh (slum area).
  10. Padatnya permukiman di daerah perkotaan seringkali mendorong berkembangnya tindak kriminalitas di perkotaan.

Setelah kamu mempelajari bab ini, tentunya kamu telah memahami perbedaan antara desa dan kota.

Pada bab selanjutnya, kamu akan mempelajari konsep wilayah, perwilayahan, dan pertumbuhan yang erat kaitannya dengan bab ini. Jika kamu telah memahami bab ini dengan baik, maka tidak akan sulit untuk akan sulit untuk mempelajari bab selanjutnya Konsep Wilayah, Pewilayahan, dan Pertumbuhan

Baca Artikel Pendidikan Lainnya.