masnasih.com - Guyuran air memanjakan kedua tanganku. Aku membersihkan telapak tangan dari sabun cucian pakaian. Malam ini air tak terasa dingin dan juga tak terasa hangat. Rasanya hanya tawar saja tak ada kesegaran seperti halnya air di pagi hari. Namun membersihkan tangan dari sabun cucian pakaian membuat pikiran sedikit lega.

Tubuhku mulai berbalik arah berbarengan dengan pikiranku yang teringat sebuah sarung bersih yang masih belum kuambil dari lemari. Suara sandal bapak juga sudah mulai terdengar, itu artinya Bapak sudah pulang dari masjid. Maghrib ini aku tidak ke masjid karena malas yang masih menjadi alasan. Kuambil sarung dari lemari dan tak lupa kaos oblong yang masih tergantung di hangernya. Aku mulai melangkah lagi ke tempat semula sembari menyampirkan kaos dan sarung di gantungan bambu dekat cucian pakaianku. Lalu aku melanjutkan mencuci pakaian dengan cara tradisional.

Ya ... Disini tak ada mesin cuci, jadi kami biasa mencuci manual menggunakan tangan. Aku sendiri suka mencuci dengan cara praktis. Ya ... mencuci menggunakan tangan tanpa sikat, jadi modalnya hanya detergen dan tangan. Tak seperti orang lain yang mencuci sampai berjam-jam, aku hanya membutuhkan waktu maksimal 40 menit jika cucian banyak dan 5 menit jika hanya mencuci beberapa biji pakaian.

Selama mencuci pikiranku memikirkan hal yang entah masih menjadi tanda tanya selama seharian. Bayangan itu muncul menemani keasyikanku saat mencuci pakaian. Hari ini aku hanya mencuci 2 sarung dan 1 kaos oblong. Jadi, aku tak butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. Seperti biasa aku selalu menyampirkan pakaian yang sudah bersih ke pipa yang terpasang di atas yang jaraknya kurang lebih 1,7 meter dari lantai sembari membersihkan pakaian yang lain.

Selesai membersihkan semua pakaian, kupanggang pakaian diantara pipa dengan api udara malam yang mencengkam. Tak peduli apakah ada kolor ijo atau tidak. Mitos yang pernah viral beberapa tahun lalu namun sekarang lenyap entah kemana ekornya.

Ah ... rasanya lega, pakaian kotorku sudah tercuci semua. Saatnya sholat ...

"Assalamualaikum." Suara yang tak asing itu muncul. Pikiranku langsung bisa menebak, itu suara yang tak lain adalah santri pondok depan tempat tinggalku. Aku masih melanjutkan aktivitasku yang kini sudah mulai mengambil air wudhu.

"Kang!" Sudah kuduga adikku yang ada di ruang tamu sudah menemui santri itu dan kini memanggil-manggilku. Aku tetap melanjutkan wudhu, sampai sosok adikku muncul dari bali pintu dan memanggilku.

"Kang. Ada anak pondok." Ucapnya. Aku menoleh ke arahnya dan menjawab singkat.

"Ya." Jawabku sembari melanjutkan wudhu.

Selesai wudhu aku masih mengabaikan santri pondok, melangkah ke musholla rumah dan sholat. Tentu aku masih terbayang-bayang apakah yang sebenarnya terjadi sehingga sudah 3 kali santri yang sakit itu diobati masih saja belum sembuh total. Pikiran itu terbawa sampai sholatku selesai dan aku hanya bisa berdoa dan berharap semoga semua masalah itu mendapatkan titik terang dan santri pondok yang sakit segera sembuh.

Aku memang tipikal orang yang tak memikirkan kekhusukan dalam sholat, karena definisi khusuk sendiri masih simpang siur di antara ya dan tidak. Khusuk di sebagian ulama mengatakan harus tau maknanya dan meresapinya. Namun nyatanya banyak orang yang mengeluh karena ketika mereka mencoba khusu' justru menjadi was-was. Aku sendiri sering melihat orang yang terlalu memaksakan diri untuk khusu' akhirnya justru was-was yang didapatkannya. Dan tentu was-was sendiri tak lain datang dari setan yang selalu mengganggu manusia saat beribadah.

Aku jadi berpikir mungkinkah mereka salah mendefinisikan khusu' sehingga mereka justru meloloskan bisikan setan yang menjadikan mereka justru was-was?

Kebanyakan orang mendefinisikan khusu' adalah memahami maknanya, namun pada akhirnya mereka justru mencoba menerjemahkan arti dari bacaan sholat itu sendiri yang akhirnya justru mengganggu kekhusyukan sholatnya. Mereka cenderung bingung sendiri karena harus menerjemahkan bacaan sholatnya. Dan kemudian ada teman diskusiku yang mengatakan, "Untung yang dibaca adalah bacaan sholat yang wajib, bayangkan jika mereka membaca bacaan sholat yang sunnah, misalnya membaca surat Al-fiil atau surat an-naml," teman diskusiku menyergitkan dahi, lalu melanjutkan "gimana jadinya coba?" Seketika aku tertawa, mengamini hal itu. Dan mulai dari situlah aku semakin kuat dugaanku tentang kesalahpahaman sebagaian orang yang mendefinisikan kekhusukan dalam sholatnya sehingga justru was-was yang didapatkan.

Lalu aku bertanya pada guruku yang kuanggap lebih paham tentang hal itu karena sudah 20 tahun menginjak bumi pesantren. Dan jawabannya juga tak seperti mereka yang was-was dalam sholatnya. Orang yang kuanggap sebagai guru ini dalam sholat seperti sholatnya orang biasa, bahkan aku melihat sholatnya lebih cepat dari pada sholatku. Jadi jawabannya kurang lebih seperti ini, "Sholat ya biasa saja. Jangan terlalu berlebihan, nanti justru was-was."

Ah ... sepertinya aku sudah terlalu panjang memikirkan hal yang tak harus kupikirkan, kalau ada kesempatan nanti kulanjutkan pembahasan tentang kekhusukan dalam sholat. Aku sudah ditunggu santri pondok.

Selesai sholat aku langsung siap-siap mengambil baju kemeja dan memakainya. Tadi aku sholat hanya mengenakan sarung dan kaos oblong saja, aku memang suka sholat pakai kaos oblong saat di rumah karena mungkin malas memakai pakaian kemeja atau koko. Ini hal yang kurang baik yang tak perlu ditiru.

Benar saja mereka sudah menunggu kehadiranku, ada dua santri yang menungguku di depan rumah dan saat melihatku keluar mereka langsung berbalik arah menuju pondok yang memang sudah ada di belakangnya sedari tadi ia berdiri saat menungguku.

Mereka berjalan melewati lorong jalan yang tak lain adalah jalan batako yang ada di sebelah pondok itu. Aku mengikuti dari belakangnya. Tak lebih dari 20 langkah, kami sudah sampai di pintu belakang pondok dan masuk. Disana sudah ada santri yang ramai di sekeliling santri yang sedang sakit.

Aku permisi dan duduk di sebelahnya. Lalu aku bertanya,

"Apa yang telah terjadi?" Salah satu santri menjawab,

"Kepalanya pusing lagi." jawabnya penuh tanda tanya. Aku diam sejenak beberapa saat. Lalu seperti biasa aku meminta air minum dan meminta mereka untuk membacakan Alquran.

Satu diantara mereka ada yang bertanya,

"Surat apakah yang harus dibaca?" Aku diam sejenak dan meminta sebuah kertas beserta bolpoin untuk menulis beberapa surat yang perlu kutulis.

"Ada kertas sama bolpoin?" Tanyaku. Dengan sigap salah satu dari mereka langsung pergi untuk mengambil pesanan ku.

Sembari menunggu, aku mengamati santri yang sakit dan bertanya-tanya dalam hati. Apakah yang sedang terjadi? Mungkinkah ini belum selesai? Sampai kapankah ini akan berlanjut? Pikiran-pikiran itu terus terbayang dibenakku. Sudah 3 kali di obati walaupun sudah ada perkembangan akan tetapi belum ada titik terang kesembuhan total. Ini tentunya membuatku kebingungan namun mencoba untuk tetap tenang.

Santri yang sedari tadi pergi sudah kembali membawa secarik sobekan kertas dan bolpoin di tangannya. Lalu kuterima dua pesananku dan mulai kutulis surat-surat yang kuingat di pikiran. Setelah selesai aku meminta salah satu dari mereka untuk menuliskan nama santri yang sedang sakit sembari menyerahkan dua benda itu.

Setidaknya ada 6 surat yang kutuliskan, lalu mereka membaginya, dan aku mulai mengamati si santri yang sakit sembari menunggu pembagian surat selesai. Ada hal yang belum kumengerti dari keadaan santri yang sedang sakit. Posisinya yang seperti orang tak sadar itulah yang membuatku tertipu akan hal yang sebenarnya terjadi. Di sebelah kanan kiri adalah dua santri yang memegang tangannya entah kenapa harus dipegang padahal seperti tak ada tanda-tanda bahaya. Aku masih penuh tanda tanya dan masih tertipu oleh pandanganku.

Aku kembali mengalihkan pandanganku ke belakang dan meminta secarik kertas yang sudah tertulis nama si santri yang sakit.

"Sudah dibagi mbak?" Aku bertanya pada santri di belakangku yang sudah siap dengan Alquran ditangannya.

"Sebentar mas." Jawabnya. Ia masih menunggu satu santri yang sedang mengambil Alquran. Tak lama kemudian santri itu datang dan kertas itu ku ambil.

Mereka sudah mulai membaca Alquran, sedangkan aku mulai mengirimkan Alfatihah untuk para Nabi dan para Auliya Allah sebagai wasilah semoga dipermudah dalam menyembuhkan si santri yang sakit.

Aku mulai melakukan apa yang harus kulakukan. Pertama aku belum merasakan adanya sesuatu yang ganjil, aku masih menemukan hal-hal yang sebelumnya terjadi, namun ini lebih ringan dari sebelumnya. 3 kali kucoba aku masih belum menemukan titik terang. Namun aku melihat perkembangan kondisi si santri yang sakit.

Saat aku mengamati wajahnya, ada beberapa hal yang membuatku bertanya-tanya, sepertinya ini bukan penyakit non medis, tapi sudah masuk ke penyakit medis. Berbarengan dengan usainya pembacaan Alquran, aku meminta salah satu santri untuk membantu santri yang sakit meminum air minum yang sudah dibacakan Alquran, dan disinilah mulai terungkap titik terangnya.

Seperti biasa aku menanyakan perkembangan keadaannya. Sambil kutepuk tangannya aku bertanya,

"Gimana mbak?" Tanyaku, "Apakah masih pusing?" lanjutku.

"Masih pusing mas." Jawabnya.

Aku mengamatinya dengan cermat dan bertanya lagi,

"Apakah pusingnya di bagian tengah?" Tanyaku memastikan. Ia tidak menjawab, hanya saja terus memegangi dahinya.

Lalu aku bertanya lagi,

"Apakah pusingnya dari kemarin?"

Ada salah satu santri yang menjawab,

"Dari tadi mas." Namun santri yang sakit segera bersuara.

"Sudah dari kemarin mas." Jawabnya dengan nada lemah tapi mencoba untuk menyela jawaban santri yang mencoba menjawab itu.

Pikiranku langsung flasback ke masa lalu di mana waktu itu aku juga pernah merasakan hal yang sama. Pusing berkelanjutan dan itulah gejala dari sakit tipes.

Salah satu santri bertanya, "Apakah sudah ilang pengganggunya mas?" Sejenak aku diam lalu menjawab,

"Sudah tidak apa-apa," jawabku, "tapi pusingnya masih." lanjutku dengan masih mencoba mencerna bagaimana aku harus mengetahui bahwa itu adalah sakit medis.

Tak lama kemudian aku meminta mereka untuk membawanya kedokter saja karena aku melihat bahwa gejala tipes sudah benar-benar ada dalam dirinya. Kulihat dari saat ia minum, sedikit saja sudah bilang cukup. Lalu ketika ia disuap untuk makan juga tak mau banyak dan ia juga bilang tenggorokanku sakit.

Beberapa alasan itulah yang akhirnya memperkuat dugaanku sedari tadi, dan kemudian aku memutuskan untuk menyarankannya periksa ke dokter karena ini sudah masuk ke ranah medis. Setelah aku yakin betul dengan dugaanku, mulailah si santri yang sakit menyadari bahwa dirinya memang sakit medis, buka sakit karena gangguan yang datang dari dunia lain.

Ia pun mulai menampakkan sifat manjanya ke santri yang ada di dekatnya, mulai dari enggan untuk minum obat dan enggan untuk berobat. Namun dari sinilah aku sudah mulai lega karena pertanyaanku sudah terjawab dan titik terang sudah kutemukan. Sakit di bagian belakang leherku juga sudah tinggal 1% artinya aku sudah tidak merasakan serangan-serangan dari dunia lain seperti sebelumnya. Lalu tugas selanjutnya adalah ada pada diri si santri yang sakit dan para pengurus pondok yang bertanggung jawab atas kepengurusannya. Tugasku hanya menyarankan dan memberikan jalan lalu aku bisa tenang menjalani kehidupan yang entah kapan aku akan datang menemuinya lagi.