masnasih.com - Semilir angin siang ini begitu nikmat. Pepohonan yang masih asri menghiasi setiap sudut kuburan yang sepi, hening, menyisakan suara kicauan burung dan gemerisik dedaunan. Aku masih diam jongkok menghadap ke makam yang tak lain adalah beberapa batu nisan dimana keluargaku dikebumikan.

Kedatanganku ke makam awalnya adalah sebuah keterpaksaan walaupun aku tahu, aku harus apa ke makam. Namun, keterpaksaan itu seakan menjelma menjadi kebutuhan. Terlebih lagi setelah aku merenungkan aku datang untuk mendoakan, dan aku datang untuk mengingat kembali apa yang telah kulupakan --kematian.

Aku melamun dikuburan?

Tidak. Aku membaca beberapa Surat Alquran dan doa yang masih kuingat. Kira-kira 10 menit untuk menyelesaikan semuanya itu. Dan di waktu yang bersamaan itulah aku merenung, sembari mengamati dan menikmati suasana alam di sekitar area pemakaman.

Hari ini aku sengaja datang ke pemakaman agak siangan. Karena, selain aku mengantar adek sekolah, juga memanfaatkan wifi di depan sekolah adek kurang lebih sejam. Aku menghabiskan waktu itu dengan mengupload beberapa video Qori' yang tak lain adalah H. Mu'min Ainul Mubarok --Qori' Internasional, dan juga memposting artikel di blog, dan sisanya untuk chatingan dengan seseorang yang sedang aku semogakan dan usahakan untuk menjadi pendamping masa depan. Kamu tahu sendirilah.

Suasana asri di pemakaman membuat pikiranku tenang. Mungkin saat ini aku sedang dalam kondisi alpa. Seperti tenangnya saat aku sholat atau mungkin saat aku mengguyur seluruh tubuhku dengan air sejuk --pikiran jadi tenang. Dan saat itulah aku merenung, lalu terlintas dalam benakku, yang lebih kurang seperti ini,

"Aku datang ke kuburan tak lain karena untuk mengingatkan diri bahwa aku juga akan mati. Eh. Tapi apa sih tujuan sebenarnya aku harus ke kuburan? Oh, iya. Niatnya adalah mendoakan, lalu khikmahnya adalah mengingat kematian."

Setelah itu aku bertanya-tanya lagi,

"Tapi kenapa selama ini --selama ke kuburan-- aku belum pernah merasakan sedikitpun ketakutan akan kematian?"

"Mungkin aku belum mendapatkan itu, aku belum sadar, atau ... aku memang Tuhan belum menyadarkanku untuk saat ini." Batinku.

"Ah. Ingat ataupun tidak yang penting aku sudah melakukan apa yang harus kulakukan.  Intinya, aku sudah berdoa, dan sudah mencoba untuk mengingat kematian." Lalu aku mencoba untuk berpikir tentang orang-orang yang telah ada di balik tanah yang ada di sekelilingku. Lalu terlintas dalam benakku,

"Sekarang semua orang --mati, sama. Dia yang dulunya banyak berbuat kesalahan, atau yang dulunya penuh dengan kebaikan, sekarang tenang di alam sana. Mereka sudah tidak lagi berurusan dengan dunia yang tentunya tak lepas dari kesalahan. Mereka sama. Sama-sama terlepas dari ikatan permasalahan dunia."

Namun, beberapa saat kemudian aku berpikir.

"Mungkin ini akan menjadi jawaban untuk orang-orang yang frustasi, karena banyak masalah yang harus dihadapi dari dalam dirinya sendiri, atau dari orang lain yang harus ia temui.

Ya. Jawaban yang paling tepat untuk mengatasi kegalauan itu adalah mati. Dengan mati dia akan terlepas dari segala hal yang terikat dengan dunia."

Namun, setelah itu aku juga teringat,

"Tapi, walaupun kamu sudah terlepas dari segala ikatan dunia, kamu akan bermasalah dengan pertanggung jawabanmu selama di dunia."

"Ya.. kalau kamu orang baik dan tak pernah berbuat dosa, mungkin kau akan senang di alam sana. Tapi, kalau kamu masih banyak dosa, kamu justru mendapat masalah lagi bahkan lebih bermasalah. Dan balasannya ... nyata." Aku tersenyum dalam hati. Lalu aku berhenti pada suatu kesimpulan.

"Dan, seharusnya kita bersyukur. Kita masih diberi kesempatan hidup. Tentu tak lain untuk memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri, membuat hidup lebih berarti, dan.. mencoba untuk menghindari segala hal yang harus kita hindari --larangan yang telah ditentukan oleh-Nya." Hatiku merasa tenang setelah menyelesaikan kesimpulan itu.

Sepertinya aku baru saja menemukan pengetahuan baru. Pengetahuan yang datang begitu saja, dan aku yakin ini juga buah jawaban dari pertanyaan yang pernah aku galaukan sebelumnya. Tak menutup kemungkinan, orang lain juga mungkin banyak yang membutuhkan.

Suara motor terdengar mendekat. Kukira hanya aku yang datang ke pemakaman se-siang ini. Namun, ternyata ada orang lain yang justru lebih siang dariku. Adanya orang yang datang membuatku terbayang ke hal lain. Masa lalu dan masa depan. Namun, ini sudah masuk ke ranah pribadiku. Jadi, mungkin akan kuceritakan jika memang nanti dibutuhkan.

Aku menyelesaikan tahlil dan menutupnya dengan doa. Lalu aku bangkit berdiri dan berjalan ke motor sesekali memalingkan muka ke orang yang barusan datang. Biasa penasaran dan memastikan siapa tahu kenal. Tapi tidak.

Ku nyalakan mesin motor, dan aku mulai meninggalkan area pemakaman.

Aku baru menyadari, ternyata di setiap tempat,  menyimpan begitu banyak pesan yang tersimpan apik, bisa kita petik. Bukan hanya dipetik, lebih tepatnya dipanen atau dalam bahasa jawanya dibrongsong. Dan jika dibedah, maka akan terlihat banyak kilauan mutiara yang tersimpan rapi di dalamnya. Jumlahnya jangan kau tanyakan lagi, tak terbatas. Kita tak mungkin bisa menjelaskan semuanya. Kita hanya bisa memetiknya satu atau dua buah saja, dan sisanya akan tetap menjadi misteri yang masih tersembunyi entah sampai kapan, aku juga tak mengetahui.

* * *

Sampai kapan kita akan tetap tenang

Sampai kapan kita akan tetap berdiam

Sampai kapan kita akan tetap membungkam

Sedangkan di sana ... ada yang sedang menunggu kepastian

Kepastian yang masih tersamarkan oleh perilaku kita, namun masih mengharapkan kebaikan-kebaikan

Bukan karena Ia butuh, bukan karena Ia membiarkan kita kebingungan, bukan karena Ia membiarkan kita dalam kecemasan, melainkan karena Ia sayang, cinta pada kita dan semua kebaikan yang kita lakukan ... akan kembali pada diri kita sendiri, bukan pada-Nya.