Ekonomi syariah

masnasih.com - Sistem ekonomi adalah suatu konsep dan aturan yang mengatur perekonomian di suatu negara, di dunia ini ada berbagai macam sistem ekonomi yang mengatur kegiatan perekonomian di negara tersebut, diantara berbagai macam sistem ekonomi tersebut adalah sistem ekonomi Islam atau sistem ekonomi syari’ah dan sistem ekonomi konvensional.

Artikel ini akan dibahas sedikit tentang analisa sistem ekonomi islam (syari’ah) dan konvensional. Dan sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam untuk bisa memahami bagaimana perbedaan antara ekonomi islam dan konvensional, serta perkembangannya mulai dari zaman dahulu sampai sekarang baik secara internasional maupun nasional yaitu di Indonesia sendiri. Sehingga pembaca memahami dan bisa menarik sedikit hikmah atau pelajaran dan bisa diterapkan dalam kehidupannya.

Konsep Dasar Ekonomi Islam

Pengertian Ekonomi Islam (Syari’ah)

Dalam bahasa Arab, kata yang digunakan untuk istilah ekonomi adalah iqtishad, yang artinya hemat dan penuh perhitungan. Seorang yang hemat tentunya penuh perhitungan dan mempunyai pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber daya. Oleh karena kemiripan makna iqtishad dengan ekonomi, maka para ahli bahasa menyebut istilah ekonomi dengan iqtishad. Dengan demikian antara kata ekonomi dan iqtishad dalam bahasa Arab mempunyai makna yang sama.

Secara etimologi, “syariah” adalah jalan ke tempat pengairan, jalan yang harus diikuti, atau tempat lalu air sungai. Sedangkan menurut al-Quran, “syariah” adalah jalan yang membawa kepada kemenangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
وأنزلنآ اليك الكتب بالحقّ مصدّقا لّما بين يديه من الكتب ومهيمنا عليه فأحكم بينهم بمآ أنزل الله ولاتتّبع أهوآءهم عمّا جآءك من الحقّ لكلّ جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولوشآء الله لجعلكم أمّة واحدة ولكن لّيبلوكم في مآ ءاتكم فاستبقوا الخيرات الي الله مرجعكم جميعا فينبّئكم بما كنتم فيه تختلفون [48]

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan, hanya kepada Allah-lah kamu kembali semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS. Al-Ma’idah: 48).

Sedangkan menurut terminologi, “syariah” adalah segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlak.

Ekonomi Islam mempelajari aktifitas atau perilaku manusia secara aktual dan empiris; baik dalm produksi, distribusi maupun komsumsi dengan berlandaskan syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan sunnah dengan tujuan untuk mencapai kebehagiaan diniawi dan ukhrawi. Dalam Islam tujuan tujuan kegiatan ekonomi hanyalah merupakan target untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yakni kehidupan hidup di dunia dan hidup di akhirat sekaligus.

Ilmu ekonomi Islam memperlihatkan dan menerapkan syariah dalam perilaku ekonomi dan dalam pembentukan sistem ekonomi, ilmu ekonomi Islam bukan hanya merupakan pengetahuan normatif, tetapi juga positif, yakni menganalisa kegiatan ekonomi (perilaku) manusia secara empiris.

Jadi Ekonomi Islam adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang atau lebih (bersana) dengan cara yang halal dan thayyibah serta berlaku adil dalam usaha yang dilakukannya dengan prinsio saling ridha dan menguntungkan.

Sejarah Munculnya Perekonomian Islam

Ekonomi syariah berkembang bersama Islam itu sendiri, meski demikian perkembangan keilmuannya mengalami proses yang berbeda. Secara umum kita bisa membaginya sebagai berikut:

Periode Pertama/Fondasi (Masa awal Islam – 450 H / 1058 M)

Pada periode ini banyak sarjana muslim yang pernah hidup bersama para sahabat Rosulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang akurat. Seperti Zayd bin Ali (120 H / 798 M), Abu Yusuf (182/798), Muhammad Bin Hasan al Shaybani (189/804), Abu Ubayd (224/838) Al Kindi (260/873), Junayd Baghdadi (297/910), Ibnu Miskwayh (421/1030), dll.

Periode Kedua (450 – 850 H / 1058 – 1446 M)

Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf kemakmuran. Terdapat pemikir-pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan hingga kini, misalnya Al Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M), Nasiruddin Tutsi (485 H /1093 M), Ibnu Taimyah (661-728 H / 1263-1328 M), Ibnu Khaldun (732-808 H / 1332-1404 M), Al Maghrizi (767-846 H / 1364-1442 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Abdul Qadir Jaelani (1169 M), Ibnul Qayyim (1350 M), dll.

Periode Ketiga (850 – 1350 H / 1446 – 1932 M)

Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terdapat beberapa pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun terakhir, Seperti Shah Waliullah (1114-1176 M / 1703-1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1206 H / 1787 M),

Jamaluddin al Afghani (1294 M / 1897 M), Muhammad Abduh (1320 H / 1905 M), Ibnu Nujaym (1562 M), dll

Periode Kontemporer (1930 –sekarang)

Ahmad Khurshid membagi perkembangan pemikiran ekonomi Islam kontemporer menjadi 4 fase sebagaimana berikut:

1. Fase Pertama

Pada pertengahan 1930-an banyak muncul analisis – analisis masalah ekonomi sosial dari sudut syariah Islam sebagai wujud kepedulian teradap dunia Islam yang secara umum dikuasai oleh negara-negara Barat. Meskipun kebanyakan analisis ini berasal dari para ulama yang tidak memiliki pendidikan formal bidang ekonomi, namun langkah mereka telah membuka kesadaran baru tentang perlunya perhatian yang serius terhadap masalah sosial ekonomi. Berbeda dengan para modernis dan apologist yang umum berupaya untuk menginterpretasikan ajaran Islam sedemikian rupa sehingga sesuai dengan praktek ekonomi modern, para ulama ini secara berani justru menegaskan kembali posisi Islam sebagai comperehensive way of life, dan mendorong untuk suatu perombakan tatanan ekonomi dunia yang ada menuju tatatan yang lebih Islami. Meskipun pemikiran-pemikiran ini masih banyak membahas hal-hal elementer dan dalam lingkup yang terbatas, namun telah menandai sebuah kebangkitan pemikiran Islam modern.

2. Fase Kedua

Pada sekitar tahun 1970-an banyak ekonom muslim yang berjuang keras mengembangkan aspek tertentu dari ilmu ekonomi Islam, terutama dari sisi moneter. Mereka banyak mengetengahkan pembahasan tentang bunga dan riba dan mulai menawarkan alternatif pengganti bunga. Kerangka kerja suatu perbankang yang bebas bunga mendapat bahasan yang komperehensif. Berbagai pertemuan internasional untuk pembahasan ekonomi Islam diselenggarakan untuk mempercepat akselerasi pengembangan dan memperdalam cakupan bahasan ekonomi Islam. Konferensi internasional pertama diadakan di Mekkah, Saudi Arabia pada tahun 1976, disusul Konferensi Internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional Baru di London, Inggris pada tahun 1977, dua seminar Ilmu Ekonomi Fiskal dan Moneter Islam di Mekkah (1978) dan di Islamabad, Pakistan (1981), Konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi Kerjasama Ekonomi di Baden-baden Jerman Barat (1982), serta Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad (1983). Pertemuan yang terakhir ini secara rutin tetap berlangsung (2001) dengan tuan rumah negara-negara Islam. Sejak itu banyak karya tulis yang dihasilkan dalam wujud makalah, jurnal ilmiah hingga buku, dll.

3. Fase Ketiga

Perkembangan pemikiran ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai fase ketiga di mana banyak berisi upaya-upaya praktikal-operasional bagi realisasi perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta. Bank-bank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara-negara muslim maupun di negara-negara non muslim, misalnya di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga yang digagas oleh para ekonom muslim dan karenannya terus disempurnakan langkah ini menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa bunga.

4. Fase Keempat

Pada saat ini perkembangan ekonomi Islam sedang menuju kepada sebuah pembahasan yang lebih integral dan komperehensif terhadap teori dan praktek ekonomi Islam. Adanya berbagai keguncangan dalam sistem ekonomi konvensional, yaitu kapitalisme dan sosialisme, menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang bagi implementasi ekonomi Islam. Dari sisi teori dan konsep yang terpenting adalah membangun sebuah kerangka ilmu ekonomi yang menyeluruh dan menyatu, baik dari aspek mikro maupun makro ekonomi. Berbagai metode ilmiah yang baku banyak diaplikasikan di sini. Dari sisi praktikal adalah bagaimana kinerja lembaga ekonomi yang telah ada (misalnya bank tanpa bunga) dapat berjalan baik dengan menunjukkan segala keunggulannya, serta perlunya upaya yang berkesinambungan untuk mengaplikasikan teori ekonomi Islam. Hal-hal inilah yang banyak menjadi perhatian dari para ekonom muslim saat ini.

Perbedaan Ekonomi Islam dan Ekonomi Kapitalisme

Perbedaan antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalisme sangat mendasar. Dimana kapitalisme mengacu pada prinsip mendapat keuntungan dengan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas. Sistem ekonomi ini sangat materialistik, yang dibangun dan ditegakkan atas dasar pengkultusan terhadap kebebasan individu dan terlepas dari semua ikatan nilai. Setiap individu bebas memiliki, mengembangkan dan menafkahkan dengan berbagai sarana yang dimiliki tanpa adanya aturan dan pembatasab (fame of game). Adapun hak masyarakat atas hartanya dan didalam pengawasannya serta perhitungan atas kepemilikannya, pengembangan dan pendistribusiannya adalah hak yang lemah. Bahkan hampir tidak memiliki pengaruh apa-apa. Sementara dari hati nurani mereka tidak lagi memiliki rasa pengawasan dan tanggung jawab yang menjadikannya menghormati kebenaran danmemeliharanya. Bahkan setiap saat mereka berusaha sedapat mungkin untuk lilos dari pengawasan hukum, khususnya tentang pajak dan permainan kotor lainnya (decoy of political).

Berbeda jelas dengan islam, sungguh telah kita lihat bahwa dia meletakkan batas-batas atas pemilikan (hak milik) dan karya, juga batas-batas dalam pengembangan, pengeluaran pendistribusian dan pembelanjaan. Islam jelas menghapus bentuk kepemilikan yang mutlak secara individu, juga mengharamkan riba, menimbun, menipu dan lain sebagainya yang menafikan (mengesampingkan) ahklaq dan bertentangan dengan dengan kemaslahatan umum. Sistem ekonomi Islam mengacu pada prinsip kepemilikan itu, hanya Allah dan manusia hanya percaya untuk mengoptimalkan harta yang bersifat amanah itu untuk kepentingan umum dan menjaga fitrahnya manusia.

Perbedaan Ekonomi Islam dan Ekonomi Liberalisme

Ekonomi liberal sangat kontras berbeda dengan sistem ekonomi Islam, baik ditinjau secara teoritis maupun praktis. Secara singkat perbedaan antara ekonomi Islam dan ekonomi liberal adalah sebagai berikut:

TINJAUAN
EKONOMI ISLAM
EKONOMI LIBERAL
Asas Filosofi
Ilahiyah
Materialisme
Asas Kepentingan
Kolektif
Individualisme
Sistem Perbankan
Syari’ah
Konvensional

Berdasarkan uraian singkat perbedaan antara ekonomi Islam dan Liberal di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Islam bersumber pada asas Ilahiyah yang memandang bahwa materi hanya sebatas sarana hidup di dunia dan bukan sebagai tujuan yang hakiki. Sedangkan sistem ekonomi liberal yang bersumber pada asas materialisme memandang bahwa materi merupakan tujuan yang menentukan eksistensi status seseorang di tengah masyarakat dan memandang urusan agama terpisah dari urusan dunia (sekulerisme). Ekonomi Islam didasarkan oleh kepentingan kolektif sebagaimana diwujudkan dalam sistem pengaturan zakat yang dapat membantu kaum ekonomi lemah ada bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia agar sadar akan hak dan kewajibannya hidup di dunia. Sedangkan ekonomi liberalisme yang didasari oleh kepentingan individualisme memberikan kebebasan bagi tiap-tiap individu untuk berkopetisi secara bebas dalam memperoleh kekayaan semaksimal mungkin yang berdampak bagi timbulnya gap/jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan tipis.

Dalam hal ini golongan kaya tidak bertanggung jawab apalagi wajib membantu golongan miskin. Ekonomi Islam menganut sistem perbankan syari’ah; yaitu mengharamkan adanya riba untuk uang nasabah yang disimpan di bank atau Baitul mal. Hal ini ditetapkan karena bunga bank dinilai sebagai passive income, artinya tanpa bekerja seorang nasabah dapat memperoleh keuntungan maksimal dari presentase bunga tabungnnya di bank, sementara Islam mewajibkan seseorang bekerja keras dengan cara yang halal untuk mendapatkan penghasilan dan ini sudah menjadi karakter etika bisnis dalam perekonomian Islam. Namun dalam sistem perbankan syari’ah, keuntungan nasabah diperoleh dari sistem bagi hasil. Sementara itu ekonomi liberalisme yang menganut sistem perbankan konvensional, menghalalkan bunga sebagai imbalan bagi nasabah.

Sejarah Ekonomi Islam di Indonesia

Pada dasarnya penerapan ekonomi stari’ah secara historis di Indonesia ada sejak digulirkannya paket kebijakan Menteri Keuangan pada Desember 1981 atau yang dikenal dengan Pakdes 1983. Pakdes ini memberi peluang kepada lembaga perbankan untuk memberikan kredit dengan bunga 0 % (zero interest). Kemudian dilanjutkan oleh adanya paket Oktober 1988 yang intinya memberikan kemudahan untuk mendirikan bank-bank baru dengan peningkatan yang signifikan. Namun baru pada tahun 1991 lahir bank berdasarkan prinsip syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). BMI muncul dilatar belakangi oleh adanya rekomendasi lokakarya ulama tentang bunga bank dan berlangsung di Cisarou Bogor 19-22 Agustus 1990. Hasil lokakarya itu dibahas lebih menda;am pada Musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di Hotel Syahid Jaya, Jakarta 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI dibentuklah kelompok kerja (pokja) untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. BMI pada waktu itu lebih dikenal dengan bank yang mendasarkan pada prinsip bagi hasil (profit sharing). Dasar hukum menganai pendirian bank syariah di Indonesia pada waktu itu belum ada, hanya saaja adanya paket deregulasi perbankan Oktober 1998 (Pakto 88) dapat dijadikan acuan , mengingat dalam pakto tersebut telah diperkenalkan adanya bank dengan bunga 0 % (zero interest).

Kemudian pada tahun 1992 diundangkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang secara implisit memberikan alternatif operasional bank menggungkan prinsipbagi hasil. Hal tersebut segera ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Bagi Hasil.

Pada tehun 1998 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 yang secara tegas mengakui keberadaan bank yang berdasarkan prinsip syariah di samping bank konvensional. Tahun 1998 itulah tahun dimulainya sistem perbankan ganda (dual banking system).

Setelah itu lambat laun berkembang berkembang praktis ekonomi syariah di Indonesia, baik dalam bentuk lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non-bank. Praktik ekonomi syariah di Indonesia tersebut berdasarkan kepada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, peraturan Bank Indonesia, peraturan ketua Bapepam LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan), edaran Bank Indonesia, dan peraturan perundang-undangan.

Ekonomi syariah yang menekankan keadilan, mengajarkan konsep yang unggul dalam menghadapi gejolak moneter dibandingkan sistem konvensional. Fakta ini telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global, seperti Rodney Shakespeare (United Kingdom), Volker Nienhaus (Jerman), dan sebagainya. Ke depan, pemerintah harus lebih memperhatikan sistem ekonomi syariah yang telah terbukti ampuh dan resisten di masa krisis. Sistem ekonomi syariah yang diawali lembaga perbankan syariah telah menunjukkan ketangguhan bisa bertahan karena ia menggunakan sistem bagi hasil sehingga tidak mengalami negative spread sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan, perbankan syariah semakin berkembang dimasa-masa sulit tersebut. Sementara bak-bak raksasa mengalami keterpurukan hebat yang berakhir pada likuidasi, sebagian banlk konvensionaal lainnyaa terpaksa direkap oleh pemerintah dalam jumlah besar. Dana APBN yang seharusnya diutamakan untuk mengentaskan kemiskinan rakyat, tetapi digunakan untuk membentu bank-bank konvensional. Inilah fakta kalau masih mempertahankan ekonomi kapitalis yang ribawi. Karena itu pemerintah sekarang lebih konsen terhadap perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, baik melalui pengesahan undang-undang maupun dengan mendirikan lembaga keuangan syariah.

Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia

Disamping persoalan kemiskinan, pengangguran dan kejahteraan sosial, sesungguhnya tantangan terbesar bagi kelompok umat Islam sekarang termasuk Indonesia adalah bagaimana mempertahankan identitas tanpa harus terperosok jatuh kedalam bahaya ahenasi atau isolasi diri, dan bahaya menolak andil orang lain serta bagaimana menghadapi kebudayaan masa kini tanpa terhanyut kealam bahaya pemikiran buta (taqlid). Dalam banyak persoalan, umat Islam masih sering mengedepankan ofensifitas wacana gerakan maupun pemikiran baik dalam menghadapi isu yang datangnya dari luar maupunn dari dalam negeri sendiri. Hal seperti ini sangat tidak menguntungkan dalam konteks persaingan globalisasi. Umat Islam akan lebih menjadi penonton yang memiliki kemahiran menilai tetapi nihil berbuat.

Menurut Robert W. Hafner seorang sosiolog sekaligus Indosianist melihat ada tiga aliran utama pemikiran ekonomi Islam. Aliran nasionalis-statis, yang secara dekat identik dengan orientasi pengembangan kelas bisnis, tekhnologi ilmiah, manajemen modern dan peningkatan kualitas pendidikan. Nasionalis-statis cenderung setengah-setengah atau bahkan tidak menyukai detil-detil teknis "Ekonomi Islam". Aliran ekonomi Islam populis yang tetap mendukung intervensi pemerintah terhadap ekonomi Muslim dengan cara distribusi yang lebih adil dan terbuka, antusiasme terhadap ekonomi Islam melalui lembaga-lembaga keuangan syari'ah, penyaluran zakat kepada koperasi untuk orang miskin, dsb. Aliran pemikiran ekonomi Islam liberal; menyatakan bahwa selain semangat kejujuran dan keadilan sosial, tidak adalagi alternatif Islam untuk ekonomi pasar.

Kesimpulan

Ekonomi Islam mempelajari aktifitas atau perilaku manusia secara aktual dan empiris; baik dalam produksi, distribusi maupun komsumsi dengan berlandaskan syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan sunnah dengan tujuan untuk mencapai kebehagiaan diniawi dan ukhrawi. Dalam Islam tujuan tujuan kegiatan ekonomi hanyalah merupakan target untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yakni kehidupan hidup di dunia dan hidup di akhirat sekaligus.

Sejarah munculnya perekonomian Islam di dunia dibagi menjadi tiga periode yang di mulai pada masa awal Islam sampai dengan tahun 1932 M dan ditambah dengan periode kontemporer yang berlangsung sampai sekarang, dalam periode kontemporer ini pula dibagi menjadi empat fase. Kemudian sejarah munculnya perekonomian konvensional dijelaskan dengan dua pemikiran, pemikiran yang pertama adalah pemikiran ekonomi pra klasik yang diawali dengan zaman Yunani kuno, tokoh-tokohnya yaitu Plato, Aristoteles, dan Xenophone, setelah itu barulah zaman Romawi. Kemudian yang kedua adalah pemikiran ekonomi kaum klasik, tokoh-tokohnya antara lain adalah Adam Smith, Jean Baptist Say, David Ricardo.

Dalam perekonomian islam dan konvensional ada berbagai konsep-konsep yang mendasari lahirnya dan berjalannya sistem tersebut. Berikut konsep pemikiran ekonomi islam adalah kebebasan individu, hak terhadap harta, ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar, kesamaan sosial, jaminan sosial, larangan menumpuk kekayaan, kesejahtaraan individu dan masyarakat. Kemudian konsep pemikiran ekonomi Konvensional dibagi menjadi dua, yaitu sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Dalam sistem ekonomi konvensional kapitalis ada beberapa konsep antara lain adalah kebebasan memiliki harta secara perorangan, kebebasan ekonomi dan persaingan bebas, dan ketimpangan ekonomi. Kemudian konsep ekonomi konvensional sosialis antara lain adalah pemilikan harta oleh negara, kesamaan ekonomi, dan disiplin politik.

Perbedaan antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional yaitu jika ekonomi konvensional mengacu pada prinsip mendapat keuntungan dengan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas. Sistem ekonomi ini sangat materialistik, yang dibangun dan ditegakkan atas dasar pengkultusan terhadap kebebasan individu dan terlepas dari semua ikatan nilai. Setiap individu bebas memiliki, mengembangkan dan menafkahkan dengan berbagai sarana yang dimiliki tanpa adanya aturan dan pembatasab (fame of game). Sedangkan Ekonomi Islam didasarkan oleh kepentingan kolektif sebagaimana diwujudkan dalam sistem pengaturan zakat yang dapat membantu kaum ekonomi lemah ada bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia agar sadar akan hak dan kewajibannya hidup di dunia. Ekonomi Islam menganut sistem perbankan syari’ah; yaitu mengharamkan adanya riba untuk uang nasabah yang disimpan di bank atau Baitul mal.

Awal mula munculnya ekonomi Islam (syari’ah) di Indonesia adalah sejak digulirkannya paket kebijakan Menteri Keuangan pada Desember 1981 atau yang dikenal dengan Pakdes 1983. Setelah itu banyak hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia dan membuat ekonomi Islam semakin dikenal dan diminati oleh masyarakat Indonesia. Kemudian pada tehun 1998 Undang-undang No. 7 Tahun 1992 diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 yang secara tegas mengakui keberadaan bank yang berdasarkan prinsip syariah di samping bank konvensional. Tahun 1998 itulah tahun dimulainya sistem perbankan ganda (dual banking system).

Referensi

Apriadar. 2009. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Bashir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-asas Hukum Muamalah. Yogyakarta: UII Pres.

Hidayat, Mohamad. 2010. The Sharia Economic. Jakarta: Zikrul.

Mardani, Dr. 2011. Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf.

Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.

Sudarsono, Heri. 2004. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonesia.

Syahbudi. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner. Pemikiran dan Gerakan Sistem Ekonomi Islam di Indonesia,(Online),Vol.2,(https://www.google.com/search?q=jurnal+sejarah+ekonomi+syariah&ie=utf8&oe=utf8&aq=t&rls=org.mozilla:id:official&client=firefoxa&gws_rd=ssl, Diakses 10 Desember 2014).

Yusuf, Qardawi. 2002. Sistem Masyarakat Islam dalam al-Qur’an dan Sunnah. Solo: Citra Islam Press.

Baca Artikel Pendidikan Lainnya.