Gambar KUH Perdata
masnasih.com - Di Kesempatan kali ini saya ingin berbagi tentang Hukum Perikatan (Pasal 1233 sampai dengan pasal 1456 KUH Perdata). Baiklah, langsung saja ke materinya.

Hukum Perikatan (Pasal 1233 sampai dengan pasal 1456 KUH Perdata)

Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara dua orang/lebih atau dua pihak, di mana pihak yg satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (R. Subekti).

Perjanjian (pasal 1313 KUH Perdt.) adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang/lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan kata lain perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum

Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan diatur di dalam. Pasal 1233 yang menyatakan bahwa “perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang” sampai dengan pasal 1456

Subjek dan Objek Perikatan

Subjek perikatan. 

Berdasarkan definisi perikatan yang dikemukakan oleh R. Subekti, maka dapat diambil pengertian bahwa subjek dalam perikatan adalah: 1). Pihak yang berhak atas sesuatu (kreditur); dan 2). Pihak yang berhak melaksanakan sesuatu (debitur)

Objek Perikatan.

Objek perikatan adalah “prestasi”

Lihat pasal 1234 KUH Perdt.: ““tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Dengan mencermati isi pasal di atas, maka ada 3 macam prestasi, yaitu: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu

Lahirnya Perikatan

Pasal 1233 KUH Perd. Disebutkan bahwa “perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang”

Azas-azas dalam Hukum Perikatan

Di dalam perikatan dikenal ada 3 azas, yaitu:

  1. Azas konsensualisme (1320 KUH Perd.)
  2. Azas pacta sun servanda, asas ini berkaitan dengan akibat suatu perjanjian (Ps. 1338-1)
  3. Azas kebebasan berkontrak (Ps.1338-1)
Selain ketiga azas di atas, terdapat bbrp azas hukum perikatan nasional, yaitu: azas kepercayaan, persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, moral, kepatutan, kebiasaan, dan azas perlindungan hukum.

Wanprestasi

Ps. 1234 KUHPerd. Menjelaskan bahwa Yang dimaksud dengan prestasi adalah: “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Dengan demikian wanprestasi adalah:

  1. tidak melakukan apa yang telah disanggupi untuk dilakukan
  2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, akan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
  3. melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
  4. melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukan

Hapusnya perikatan

Pd pasal 1381 KUHPed. Disebutkan ttg. 10 cara hapusnya perikatan, yaitu: pembayaran, konsignasi, pembaruan utang (novasi), perjumpaan utang (kompensasi), percampuran utang (konfusio), pembebasan utang, musnahnya barang terutang, batal/pembatalan, berlakunya syarat batal, lewat waktu (daluarsa).

Jika dikaitkan dengan pasal 1231 bahwa perikatan lahir karena perjanjian/karena UU, maka hapusnya perikatan juga demikian, ada yg hapus krn UU dan ada yg hapus karena perjanjian.

Hukum perjanjian

Dalam literatur klasik Istilah perjanjian diartikan dengan “satu perbuatan hukum yang bersisi dua, yang didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. (satu  perbuatan hukum yang dimaksud adalah penawaran di satu pihak dan penerimaan di pihak lain) akan tetapi kiranya pendapat tersebut kurang tepat mengingat penawaran dan penerimaan merupakan dua perbuatan hukum.

Oleh karena itu lebih tepat jika dikatakan bahwa “perjanjian tidak merupakan SATU perbuatan hukum, akan tetapi merupakan hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.

Dengan demikian “perjanjian” (overeenskomst/contracts) adalah peristiwa di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, dan biasanya dilakukan secara tertulis.

Kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya, oleh karenanya kontrak yang mereka buat adalah sumber hukum formal asalkan kontrak tersebut adalah kontrak yang sah.

Syarat sahnya perjanjian (Pasal. 1320 KUH Perdata.)

Syarat subyektif, syarat ini apabila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan; yaitu kecakapan para pihak dan kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Syarat obyektif, syarat ini apabila dilanggar makan perjanjian batal demi hukum; obyek tertentu dan sebab/ causa halal

Asas-asas perjanjian:

Pasal 1338 KUH Perdata. Menyatakan bahwa:

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Dari pasal ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian terkandung asas:


  • konsensualisme, yaitu perjanjian tersebut telah terjadi jika telah ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak
  • kebebasan berkontrak, yaitu seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, dan bebas menentukan bentuk kontraknya
  • pacta sunt servanda, perjanjian tsb merupakan UU bagi mereka yang membuatnya

Risiko

Risiko; kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam kontrak.

Keadaan memaksa (overmacth/ force majeure) dapat terjadi karena:
  • Keadaan diluar kekuasaannya
  • Keadaan memaksa
  • Tidak dapat diketahui sebelumnya

Macam-macam perjanjian:

Perjanjian bernama/nominaat contract; perjanjian khusus/ bijzondere contract adalah perjanjian yang sudah diberi nama resmi oleh UU, sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian khusus adalah karena perjanjian ini sudah diatur secara khusus oleh UU

Perjanjian tidak bernama/ innominaat contract yaitu perjanjian yang timbul dalam masyarakat dan belum diatur dalam UU. Perjanjian ini juga dikenal dengan Perjanjian jenis baru karena perjanjian tsb baru lahir setelah terbentuknya kodifikasi (Hukum. Perdata dan Hukum. Dagang)

“Pembedaan antara perjanjian bernama dengan perjanjian tidak bernama adalah berkaitan dengan cara penyelasaian apabila dalam perjanjian tersebut terjadi sengketa.”

Perjanjan jenis baru dibedakan menjadi:

Perjanjian campuran yaitu perjanjian yang didalamnya terkandung unsur dari berbagai perjanjian bernama. Ex. Sewa-beli\

Perjanjian jenis baru yang sui generis (contractus sui generis) yaitu perjanjian jenis baru yang mengandung sifat-sifat yang khas. Ex. Sewa guna usaha dengan hak opsi/Financial leasing

Jika dalam perjanjian bernama terjadi sengketa, maka ketentuan yang dijadikan pedoman penyelesaian:
  • Ketentuan hukum pemaksa
  • Isi perjanjian sebagaimana telah ditetapkan oleh para pihak
  • Berlaku ketentuan-ketentuan khusus bagi perjanjian bernama tsb.
  • Berlaku ketentuan umum dalam KUH Perd.
  • Kebiasaan setempat sebagaimana disebut dlm Ps. 1339 KUH Perd.
  • kepatutan

Jika dalam perjanjian tidak bernama terjadi sengketa, maka ketentuan yang dijadikan pedoman penyelesaian:

  • Ketentuan hukum pemaksa
  • Isi perjanjian sebagaimana telah ditetapkan oleh para pihak
  • Berlaku ketentuan umum dalam KUH Perd.
  • Ketentuan-ketentuan hukum pelengkap yang berlaku bagi perjanjian tsb.

Perikatan dalam Islam

Pengantar:

Perikatan dalam hukum Islam merupakan bagian dari hukum islam bidang mu’amalah yang mengatur perilaku manusia dalam menjalankan hubungan ekonominya.

Hukum Perikatan Islam adalah seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah (Al-Hadits), dan Ar-Ra'yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi. (Tahir Azhary) ciri yg menonjol dalam perikatan islam adalah adanya sifat “religius-transendental”, dimana dalam perikatan Islam tidak hanya mengedepankan aspek keperdataannya saja, melainkan ada unsur kepatuhan dalam menjalankan agama. Dengan demikian secara substantif, hukum perikatan islam lebih luas dari materi yang terdapat dalam perikatan perdata barat.

Secara filosofis, hukum perikatan Islam berlaku di Indonesia karena dua hal, yaitu: akidah dan syari’ah sebagai perwujudan dari habl min Alloh dan habl min-annas.

Sedangkan secara normatif, hkm perikatan Islam telah lama berlaku di masyarakat, hal ini bisa dilihat dari tata cara transaksi yang menggunakan konsep ijab qabul

Pengertian perikatan dalam Hukum Islam

Terdapat dua istilah dalam bahasa arab, yaitu:, pertama kata  ‘aqada artinya menyimpulkan, ( lihat Q.S. Al Maiah (5): 1, dalam kamus Al Munawir, Bahsa Arab Indonesia aqad adalah mengikat, dapat juga disebut ‘uquud artinya perjanjian (yang tercatat) kontrak. Kedua ‘ahdu  (lihat Q.S. Ali Imran (3) : 76,  yaitu berjanji.

Dari segi bahasa aqad adalah ikatan, mengikat. Ikatan artinya menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali.

Fathurrahman Djamil menyamakan kata al ‘aqdu dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata. Sedangkan Istilah al ‘ahdu disamakan dengan perjanjian atauovereenkomst, yaitu pernyataan dari seorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. 

Dalam Kompilasi hukum Ekonomi Syariah kata aqad diberi perngertian adalah kesepakatan dalam suatu perjanjinan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tiidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

Unsur-unsur Perikatan Islam

Unsur-unsur yang terdapat dalam perikatan sebagaimana dapa definisi aqad  yaitu pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.

Pada definisi terdapat tiga unsur yang terdapat dalam suatu perikatan, yaitu :

1. Hubungan Ijab dan Qabul

Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Qabul adalam pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut pihak lainnya (qaabil). Unsur ijab dan qabul selalu ada dalam suatu perikatan.

2. Dibenarkan oleh syara’

Aqad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syara’ (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah). Demikian juga objek akad tidak boleh bertentangan dengan syara’ bila bertengangan maka akad itu tidak sah.

3. Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya

Aqad merupakan tindakan hukum (tasharruf), menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan.

Aqad merupakan salah bentuk perbuatn hukum (Tasharruf) yang oleh Musthafa Al Zarqa mendefiniskan dengan segala seuatu (perbuatan0 yang bersumber dari kehendak seseorang  dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban).

Rukun dan Syarat perikatan Islam

Menurut Jumhur rukan perikatan adalah al ‘aqdain (subjek perikatan), mahallul ‘aqd(objek perikatan) dan sighat al ‘aqd (ijab dan qabul), Mussthafa al Zarqa menambah satu syarat yaitu maudhu’ul al ‘aqd (tujuan aqad).

Al aqdain (subyek hukum)

Manusia dan badan hukum

Obyek perikatan = barang dan jasa

  1. Ada ketika dilangsungkan perikaan
  2. Obyek perikatan dibernakan oleh syara’
  3. Obyeknya jelas dan dikenali
  4. Obyeknya dapat diserahterimakan

Sighat al ‘aqd (ijab dan qabul),

Pembagian perikatan bedasarkan bentuk transaksi: 

  1. Jual-beli (bai’);
  2. Syirkah /kerjasama antara dua orang atau lebih (dalam bentuk barang modal/jasa); 
  3. Mudharabah/ kerjasama antara dua subjek hukum dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yg diisepakati;
  4. Muzaraah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk memanfaatkan lahan;
  5. Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
  6. Musaqah adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan tanaman dengan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat;
  7. Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual-beli yang dilakukannya;
  8. Ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran;
  9. Istisna adalah jual-beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual;
  10. Kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua/peminjam;
  11. Hawalah adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih;
  12. Rahn/gadai adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan;
  13. Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut; 
  14. Ju’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama; dan 
  15. Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.

Asas Hukum Perikatan

Ilahiyah setiap perkataan, pebuatan dan tingkah laku manusia tidak luput dari ketentuan Allah.

Keadilan, dituntut agar para pihak yang melakukan perikatan agar berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya.

Ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

Amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yangsama terhindar dari cidera-janji

Ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.

Luzum/ tidak berubah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan  perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.

Saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

Taswiyah/ kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

Transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggung-jawaban para pihak secara terbuka.

Kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

Taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

Itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

Sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

Al-hurriyah (kebebasan berkontrak)

Al-kitabah (tertulis)

Demikianlah Artikel Tentang Hukum Perikatan (Pasal 1233 Sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata). Semoga Bermanfaat.

Baca Artikel Pendidikan Lainnya.